Mengurai Benang Merah Pahlawan Devisa(TKI)

Indonesia merupakan salah satu negara terbesar menge­kspor tenanga kerja ke luar negeri. Setiap tahunnya ada sekitar 400.000 orang yang dikirim keluar negeri. Malahan pada tahun 2009 pemerintah pernah mentargetkan untuk mengirim Tenaga Kerja Indo­nesia (TKI) keluar negeri lebih dari 1 juta orang. Hal ini dilakukan pemerintah tentu cukup beralasan, mengingat besarnya devisa yang di­sum­bang­kan oleh TKI untuk Indo­nesia. Ada 39 triliyun Rupiah pertahunnya yang di sum­bangkan oleh TKI untuk de­visa Indonesia, oleh sebab itu tidak heran TKI menjadi pen­yumbang devisa terbesar setelah migas, sehingga ia layak di juluki sebagai pahlawan devisa.

Sebelum terjadinya mo­ratorium, TKI yang tersebar di berbagai negara sudah mencapai 6 juta jiwa. Paling terbanyak berada di Malaysia dan Timur Tengah. Di Negara tetangga Malaysia, selain TKI banyak didatangi oleh TKI resmi, ternyata juga banyak berkerumun TKI yang tidak memiliki domkomen resmi. Berdasarkan data yang di­publikasi KBRI Kuala Lum­pur lebih 1 juta TKI tanpa dokumen resmi berada di negara tetangga ini.


Hal ini cukup beralasan, mengingat jarak Indonesia dengan Malaysia yang begitu dekat dan sangat mudah ter­jadinya perlintasan bagi pencari kerja. Di samping itu, juga sangat dipengaruhi oleh banya­knya warga Malaysia yang berasal dari keturunan orang Indonesia, seperti dari Jawa, Minang, Bugis dan seterusnya. Malahan diantaranya telah membuat perkampungan ter­sendiri, seperti perkampungan Bugis, Jawa, Minang atau nama-nama daerah yang sangat identik dengan kampung-kampung yang ada di Indo­nesia. Dengan demikian pencari pekerja dari Indonesia sangat mudah mencari tempat per­lindungan pertama di negara jiran ini, mereka cukup pergi ke perkampungan-perkam­pungan yang dimana ber­kumpulnya komunitas yang berasal dari daerah asal.

Hal itu di antaranya yang membuat mudah pekerja-pekerja Indonesia ke Malaysia, ke­mudahan dan kondisi per­se­kampungan ini pula salah satu faktor pendorong seseorang untuk bekerja tanpa dokumen yang syah. Berbekal adanya izin satu bulan untuk berkelana atau yang lebih dikenal visa me­lancong yang ada di paspor berada di negara jiran ini, mereka man­faatkan untuk bekerja. Karena di negara tetangga itu tersedianya la­pangan kerja dan gaji yang memadai

Mereka-mereka yang me­manfaatkan visa melancong ini untuk bekerja, sering me­lakukan kegiatan kerja kucing-kucingan dengan petugas setempat, takut tertangkap basah karena menyalhgunakan izin tinggal yang diberikan. Mereka harus berkompromi dengan yang memperkejakan.

Selama mereka tidak di­ketahui dan tidak tertangkap oleh pihak berwajib setempat, mereka tetap saja melakukan pekerjaan. Akhirnya terjadilah yang dinamakan dengan pe­kerja ulang alik antar negara. Artinya, untuk menghindari pelanggaran dokumen di pas­por yang tercantum mendapat izin satu bulan berkelana di negara tetangga tersebut, maka satu hari sebelum izin itu habis mereka keluar dari negara itu atau pulang kampung. Setelah beberapa waktu lagi, kembali ke negara jiran tersebut. Selagi mereka aman hal serupa ini akan terus dilakukan.

Calo-calo Bertebaran

Selanjutnya, mengapa pe­kerja Indonesia berani be­kerja di negara tetangga tersebut tanpa dokumen, selain adanya fantor di atas ternyata juga dipengaruhi oleh adalah faktor penipuan dan faktor takut berurusan dengan birokrasi. Penipuan misalnya, sering terjadi semenjak para calon TKI direkrut di kampung halaman.

Calo-calo yang bebas ber­keliaran mencari calon TKI ke kampung-kampung ternyata telah membuat derita panjang banyak calon TKI, terutama mereka terjebak dalam pe­nipuan-penipuan dalam ber­bagai hal, mulai dari ke­tidak­resmian dan ketidaklengkapan dokumen sampai pada pe­nipuan-penipuan pekerjaan yang dijanjikan. Akhirnya mereka terjebak dalam kasus penjualan orang.

Pada satu peristiwa di ujung tahun 2007, saya me­nemukan sebuah pengiriman TKI oleh calo-calo ini melalu pelabuhan Dumai ke Pe­la­buhan Klang di Malaysia dengan feri. Sangat unik dan sangat ganjil sekali kelihatannya. TKI-TKI yang dikirimkan oleh calo ini, kemudian ditunggu kedatangannya oleh para cukong yang berada di Malaysia. Setelah kapal menyandar ke pelabuhan, cukong-cukong masuk ke dalam feri, me­manggil nama-nama yang dikirim oleh calo dari Indo­nesia. Dari segi bahasa ke­denagaran cukong-cukong itu ada di antaranya yang fasih berbahasa Jawa dan Indonesia.

Di atas feri sebelum turun, mereka ditunjuk ajari oleh cukong, cara menawab per­tanyaan yang bakal diajukan oleh petugas Imigrasi. Ma­lahan, untuk mengantsipasi pertanyaan ada bawa uang atau tidak dari pihak Imigrasi, para cukong juga meminjam uang untuk dipegang oleh TKI guna kelancaran proses pemeriksaan. Setelah turun feri TKI-TKI yang dikirim ini berbaris beraturan sesama TKI menunggu pe­meriksaan imigrasi.

Awal dari pemberangkatan yang “kongkalingkong” dari TKI yang dilakukan oleh pihak calo dan cokong ini yang memperpanjang masalah pen­deritaan TKI di negara orang. Mereka berangkat tidak dengan dokumen yang sah. Akibatnya, para TKI memiliki daya tawar yang sangat lemah dan rentan menjadi pihak yang “di­per­mainkan” atau dijadikan sasaran segala penipuan tereksploitasi.

Di antaranya mereka bisa terjebak bekerja dengan majikan yang “keparat”. Majikan yang pura-pura manaruh belas ka­sihan, memperkejakan TKI yang tidak berdokumen ter­sebut dengan berabagai macam cara yang untung tetap majikan, TKI tetap saja pihak yang teraniaya. Misalnya, jika ma­jikan tidak mampu membayar gaji, para majikan cukup mengancam melaporkan me­reka ke pihak berwajib, se­hingga majikan babas dari pem­bayaran gaji. Ancaman-an­caman seperti itu sering kali terjadi.

Di samping itu, mereka yang tidak berangkat dengan do­kumen yang sah juga sering tinggal ditempat-tempat yang tidak layak, tinggal dibedeng-bedeng yang sangat prihatin. Tinggal di hutan-hutan, setelah selesai bejerka. Tujuannya adalah supaya mereka ter­sembunyi dan tidak tercium oleh pihak ber­wenang. Kondisi tempat tinggal yang tidak layak seperti itu, salah satu faktor juga banyaknya TKI me­nga­lami permasalahan ke­sehatan. Mungkin kita masih ingat, berita dari berbagai media yang melaporkan tentang TKI di Arab Saudi yang tinggal di bawah kolong jembatan ber­bulan-bulan. Kalau di Malaysia, mungkin kita dapat me­ne­mukan TKI yang tidur dihutan dan dirumah-rumah yang tak layak huni.

Masalah TKI-PRT

Masalah TKI yang paling rumit lagi adalah dialami oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), se­dangkan  Indonesia merupakan negara terbesar pengirim TKW untuk menjadi PRT ini. PRT, merupakan pekerja yang sangat rentan dengan permasalahan, karena mereka bekerja di dalam rumah, tertutup dan tidak banyak diketahui oleh masa­yarakat sekitar. Akibatnya, ketika mereka mengalami permasalahan de­ngan maji­kannya tidak ada yang menge­tahui.  Ketika mereka teraniya, sulit untuk diketahui oleh orang lain, kecuali lari keluar dari rumah majikan dengan berbagai resiko.

TKW-TKW yang menjadi PRT dengan keterkungkungan itu, tidak heran mereka menjadi korban perkosaan dari majikan, korban penganiayaan, korban psikis malahan korban pem­bunuhan. Hal ini diakibatkan oleh kondisi kerja mereka yang terkurung dalam rumah dan tidak bergaul dengan masya­rakat sekitar.

Kemudian, kerumitan lain yang dialami oleh TKW-PRT adalah ketidak jelasan jam kerja untuk mereka. PRT tidak memiliki waktu kerja yang jelas, sehingga mereka terkeploitasi dalam bekerja. Majikan “nakal” memperlakukan mereka de­ngan sesuka hati tanpa mem­pertim­bangkan jam pekerjaan mereka.

Dari beberapa kasus di lapangan, ditemukan PRT ada yang hanya memiliki jam isti­rahat dua sampai empat jam dalam 24 jam. Pekerjaan me­reka tidak jelas, tidak hanya bekerja sebagai pekerjaan rumah tangga, malah sampai mencuci mobil dan me­man­dikan anjing, tergantung ma­jikan.

Di samping itu, mereka tidak memiliki daya tawar yang kuat karena paspor dan do­kumen-dokumen mereka di­tahan oleh majikan atau agen yang memberangkatkannya. Faktor ini yang menyebabkan para TKW-PRT ini betahan dalam kondisi tereksploitasi. Mereka tidak memiliki pilihan, kecuali bertahan bersama dengan majikan.

Kemudian persoalan gaji yang mereka terima juga sangat tidak jelas dan sangat tidak seimbang dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan oleh, gaji bukan dibayarkan langsung oleh majikan pada mereka tetapi melalui agen yang mem­berang­katkan. Agen bisa men­dapat­kan keuntungan lebih banyak daripada mereka yang bekerja yang tidak mengenal lelah ini. Inilah fenomena bagi TKW yang diberangkatkan oleh agen, mereka tetap tereksploitasi.

Eksploitasi ini menjadi permasalahan yang dominan dihadapi oleh TKI terutama di negara jiran Malaysia. Para agent tidak memiliki ketentuan dalam masalah pemotongan gaji mereka. Agen bisa saja berdalih dengan berbagai alasan, seperti dalih uang pengganti pem­berangkatan, administasi dan sebagainya, sehingga gaji yang diterima oleh pekerja sedikit dan tidak be­rimbang dengan tenaga yang diberikannya.

Penanganan masalah TKI semestinya dimulai dari pe­nertiban agen-agen yang nakal ini. Agen-agen yang bermain dibalik penderitaan TKI itu tentu memperpanjang tingkat eksploitasi yang dihadapi oleh TKI. Di samping itu, pe­merintah juga harus me­ndu­dukan masalah jam kerja bagi TKW yang bekerja disektor informal ini, kalau tidak me­reka akan menjadi “babu” yang sangat menderita secara batin dan lahiriah, akhirnya ber­dampak pada psikis.

Yang sangat penting lagi adalah adanya kerjasama pe­merintah dengan negara pe­nempatan TKI tentang per­lindungan TKI itu sendiri. Philipina lebih unggul dari Indonesia masalah jalinan kerjasama dengan negara pe­nempatan pekerja ini. Indonesia mulai menata secara intens masalah TKI ini baru dimulai dua tahun belakang ini, karena banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh TKI mulai dari proses pemberangkatan sampai di negara tujuan bahkan ketika pulang ke negeri sendiri pun masih dieksploitasi oleh orang sebangsa dengannya. Di sam­ping banyaknya TKI pulang tanpa nyawa dan terperangkap kasus hukum gantung.

Fenomena TKI Urang Awak di Malaysia

Selama lima tahun saya mengamati masalah TKI di Malaysia, paling menarik adalah TKI yang berlebel urang awak. Urang awak lebih banya laki-laki menjadi TKI, TKI “ulang alik” TKI yang tidak menetap, atau merantau se­bentar . Mereka mem­per­gu­nakan izin menetap satu bulan yang ada di paspor. Mereka pergi manggaleh di negara jiran tersebut.

Sasaran mereka adalah, berdagang di pasar-pasar ma­lam. Pasar-pasar malam pada umumnya sebagai sentra ak­tivitas ekonomi urang awak. Di mana ada pasar malam di situ urang awak tumbuh dan menjamur, galeh mereka ber­macam-macam, termasuk galeh yang dibawanya dari kampung halaman. Bahkan orang awak, juga terkenal dengan agen penjual durian, karena pada saat musim dirian datang urang awaklah ahlinya memasarkan durian itu.

Sangat mudah mengenal urang awak ini, tidak hanya dari segi face tetapi juga dari bahasa. Di pasar malam tidak perlu berbahasa Melayu, cukup dengan bahasa Minang. Mereka akan langsung bertanya: Dima kampuang?

TKI-TKI urang awak yang ulang alik ini, jelas mereka bekerja sama dengan sanak saudara yang sudah duluan di Malaysia bahkan sudah menjadi warga negara jiran ini. Mereka sangat menguasai betul, masalah suasana di pasar, sangat pintar membaca situasi, sehingga ia tidak terjebak ke tangan pihak yang berwajib.

TKI-TKI urang awak tidak begitu tertarik dengan tawaran-tawaran yang diiklan oleh agen-agen TKI, mereka lebih me­milih jalan sendiri-sendiri, sehingga mereka terhindar dari bayaran-bayaran yang di­ber­lakukan oleh agen. Begitu juga dengan perempuan, mereka lebih suka berangkat tanpa melalui agen tetapi melalui pertolongan sanak saudara.

Perempuan biasanya lebih banyak bekerja sebagai tenaga pembersih di tempat-tempat umum atau bekerja di restoran-restoran urang awak. Di­temukan beberapa restoran urang awak, sekaligus namanya juga sangat ke-Minang-an, seperti restoran Singgalang, Kapau dan sebagainya pe­kerjanya pada umumnya adalah urang awak yang dibawa dari kampung halaman.

Ada beberapa keunikan dari urang awak yang mengadu untung ke Malaysia ini, te­rutama bagi laki-laki yang merantau ulang laik, mereka tidak mau bekerja dengan majikan. Di sinilah keuntungan adanya pasar malam di Ma­laysia bagi mereka, mereke menentukan usahanya sendiri. Menfaatkan kelihaian tradisi berdagang kaki lima di pasar-pasar malam itu. Ke­unikan lain adalah, urang awak lebih suka menjadi “bos” terhadap dirinya sendiri, ke­timbang menjadi pekerja yang ditentukan oleh orang lain. Di sinilah pe­ntingnya pasar malam dengan tradisi kaki lima itu bagi perantau atau TKI urang awak ini. Mereka manggaleh dari pasar malam yang satu ke pasar malam yang lainnya.

Urang awak juga terkenal di pasar malam sebagai penjual makanan-makanan masakan khas padang, seperti menjual nasi padang, sate padang, martabak atau apam balik dan seterusnya. Pasar malam di Malaysia, seperti terasa seperti balai-balai setiap pekan yang ada di negeri kita ini, hanya saja beroperasinya pada malam hari.

Biasanya bagi mereka yang jadi TKI ulang alik ini, setelah habis jatah tinggal satu bulan seperti yang tercap di pas­pornya, mereka pulang kam­pung atau keluar dari Malaysia dengan membawa hasil pen­cariannya. Dalam waktu ter­tentu lagi, mereka kembali ke Malaysia. Begitulah seterusnya, mereka sudah tahu betul cara keluar-masuk Malaysia.
sumber: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10580:mengurai-benang-merah-pahlawan-devisa&catid=11:opini&Itemid=83

0 comments:

Post a Comment

Home - - -
Copyright © 2010 On The Spot Update All Rights Reserved.